Memasuki Nagari Koto Baru pengunjung akan menyaksikan perkampungan Minangkabau masa lampau. Ratusan rumah adat Minangkabau atau Rumah Gadang di kiri kanan sepanjang jalan perkampungan sebagian besar masih terawat.
Pemandangan rumah-rumah bagonjongyang artistik ini mampu menghilangkan penat dan capek setelah menempuh perjalanan panjang memakan waktu sekitar 3,5 jam dari Kota Padang.
Tak sulit menemukan kawasan yang pernah digunakan sebagai lokasi syuting film layar lebar Di Bawah Lindungan Kabah yang diangkat dari novel Buya Hamka karena berada di dekat jalan utama Solok Selatan yang menghubungkan Kota Padang dengan Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, itu.
Memasuki Nagari Koto Baru terlihat plang raksasa bertuliskan "Kawasan Saribu Rumah Gadang" di samping pintu masuk Masjid Raya Koto Baru.
Karena lokasinya yang artistik, kawasan ini juga pernah dijadikan lokasi syuting film televisi (FTV) berjudul "Calon Istri yang Terzalimi" dan ditayangkan di salah satu televisi swasta nasional.
Setelah memasuki pintu gerbang, deretan rumah gadang di kiri kanan jalan seolah menjadi pagar betis dan siap menyambut pengunjung yang ingin menikmati pemandangan rumah adat Minangkabau tersebut.
Untuk lebih bisa menikmati keindahan rumah gadang tersebut, pengunjung atau wisatawan bisa dengan berjalan kaki untuk mengelilingi kawasan tersebut. Kawasan saribu rumah gadang juga pernah digunakan tempat pengambilan gambar serial anak "Si Bolang".
Menurut Kepala Bidang Budaya pada Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Solok Selatan Feri Yuredi, di kawasan yang berada di Kecamatan Sungai Pagu tersebut setidaknya terdapat 174 rumah gadang dari berbagai bentuk.
Namun ia tidak bisa memastikan model rumah gadang apa saja yang berada di kawasan itu meskipun dihuni oleh sejumlah suku yang berada di Minangkabau.
"Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui model-model rumah gadang yang ada di Kawasan Seribu Rumah Gadang itu," katanya.
Sejumlah suku bermukim di kawasan tersebut, seperti Melayu, Bariang, Durian, Kampai, Panai, Tigo Lareh, Koto Kaciak, dan Sikumbang. Setiap suku tersebut memiliki rumah gadang kaum.
Keberagaman suku yang menghuni Kawasan Saribu Rumah Gadang ini, sebutnya, menunjukan bahwa di daerah itu sudah memelihara toleransi sejak zaman dahulu.
Rumah-rumah gadang, khususnya rumah gadang adat, katanya, saat ini banyak yang tidak berpenghuni. Rumah-rumah tersebut digunakan hanya untuk acara-acara adat.
Salah satu putri proklamator Indonesia, Bung Hatta, yakni Meutia Farida Hatta Swasono, pernah menginjakkan kakinya di nagari itu pada 2008. Kala itu, istri Sri Edi Swasono itu menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Meutia Hatta memberikan julukan Solok Selatan sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang karena masih banyaknya rumah yang berciri khas gonjong itu di sana, sebutnya.
Kawasan Saribu Rumah Gadang ini, sebutnya telah masuk ke dalam kawasan pengembangan pariwisata di kabupaten yang dimekarkan pada 2004 lalu itu dari kabupaten Solok.
"Sudah masuk dalam RTRW Solok Selatan," ujarnya.
Potensi wisata budaya tersebut, katanya, yang kini tengah dikembangkan dan promosikan oleh pemerintah setempat bersama para pemerhati dan pelaku kepariwisataan.
Wisata Budaya
Kekhasan dan keunikan merupakan daya tarik dalam mengaet wisatawan untuk berkunjung ke suatu objek wisata. Kelebihan ini yang kini tengah dikembangkan oleh pemerintah setempat bersama pelaku kepariwisataan dan pegiat wisata.
Pada tahun 2013 hingga 2014, pemerintah Solok Selatan mencoba mengemas kekayaan objek wisata budaya tersebut menjadi sebuah destinasi. Dengan memberikan bantuan kepada pemilik rumah gadang untuk bisa dijadikan penginapan.
"Ada enam rumah gadang yang kami bantu untuk bisa dijadikan homestay," kata Kepala Bidang Pariwisata Asniati.
Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Pemkab Solok Selatan juga melatih para pemilik penginapan tersebut agar bisa melayani tamu dengan baik.
Bagi tetamu atau pengunjung yang menginap di rumah gadang tersebut, mereka akan disuguhi atraksi tarian-tarian tradisional serta penganan asli Solok Selatan, seperti pangek pisang.
"Ini tak lebih agar para wisatawan terkesan dan kembali ke Solok Selatan," katanya.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Doni Hendra menyebutkan pihaknya kini tengah membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) di Kawasan Saribu Rumah Gadang.
Dengan adanya pokdarwis ini, katanya menambahkan, secara perlahan keterlibatan pemerintah dalam mengelola objek wisata akan dikurangi.
"Jika pokdarwis telah 100 persen mampu mengelola objek wisata, mulai menyambut tamu, melayani, sampai tamu kembali pulang, maka pemerintah sifatnya hanya membantu dan memfasilitasi saja," katanya.
Dalam mengembangkan rumah gadang sebagai penginapan, katanya, pihaknya menghindari rumah-rumah yang berpotensi ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
"Jika rumah tersebut ternyata bisa ditetapkan sebagai benda cagar budaya, akan dialihkan ke rumah yang lain," katanya.
Kawasan Cagar Budaya
Pemanfaatan rumah gadang, kata Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar, Teguh Hidayat, merupakan salah satu upaya untuk melestarikan dan melindungi rumah tersebut dari kehancuran.
"Bukan saja mendapatkan manfaat dari segi ekonomi dan sosial, pemanfaatan rumah gadang sebagai penginapan juga upaya dalam melindungi dan melestarikannya," katanya.
Namun dalam pengembangan rumah gadang sebagai penginapan, ia berpesan, pemilik dan pemerintah setempat agar tidak menghilangkan kandungan informasi dan bentuk aslinya.
"Boleh ada penambahan, seperti kursi meja atau kamar, tapi harus menggunakan yang berbahan kayu. Jangan secara permanen karena itu akan menghilangkan bentuk asli rumah gadang tersebut," katanya.
Selain itu, pintanya, pemerintah setempat seyogyanya harus cepat menetapkan Kawasan Seribu Rumah sebagai kawasan cagar budaya.
"Ada sejumlah rumah gadang di Kawasan Seribu Rumah Gadang itu memiliki ukiran yang berbeda dari rumah gadang yang ada di Sumbar. Selain itu, ada surau, yakni Surau Menara, yang masih dilestarikan keasliannya," katanya.
Rumah Gajah Maram
Salah satu ikon Rumah Gadang yang paling banyak dikunjungi di kawasan Seribu Rumah Gadang adalah Rumah Gadang dengan nama Gajah Maram, yang dibangun pada tahun 1794 silam.
Julukan lengkap Rumah Gadang ini adalah Rumah Gadang Kaum Suku Melayu Buah Anau milik Datuk Lelo Panjang. Saat ini, Rumah Gadang Gajah Maram tidak lagi secara aktif digunakan untuk keperluan sehari-hari. Namun hanya difungsikan kala ada upacara adat seperti pengangkatan gelar datuk, musyawarah pemangku adat, pernikahan, dan kematian saja.
Di dalam Rumah Gadang Gajah Maram ini, pengunjung akan menemukan sejumlah benda-benda pusaka peninggalan tetua adat terdahulu.
Anda bisa berkunjung ke kawasan Seribu Rumah Gadang ini tanpa perlu meronggoh kocek yang besar. Hanya rental kendaraan roda empat Rp250 ribu, Anda sudah bisa sampai ke kawasan itu.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi, Anda juga akan disuguhi dengan pemandangan indah perbukitan, kebun teh dan pantai Cermin, serta Danau Diateh.
sumber: antaranews.com