Padang Info.com - JAKARTA - Hingga Rabu (9/5/2018) rupiah masih tertekan penguatan dollar AS terhadap kurs dunia. Kurs tengah Bank Indonesia menunjukkan rupiah melemah di posisi Rp 14.036 per dollar AS.
Sementara itu di pasar spot, rupiah diperdagangkan di Rp 14.052 per dollar AS dibanding Senin (7/5/2018) Rp 14.001.
Pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini diperkirakan terus berlanjut hingga akhir Mei.
"Terbuka peluang kurs terdepresiasi hingga Rp 14.200," ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara masih memandang optimis masa depan perekonomian Indonesia. Dia menilai melemahnya rupiah tidak akan menghilangkan kepercayaan diri investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
"Menurut saya nggak (membuat investor tak percaya pada kondisi Indonesia). Memang volatilitas dunia sedang tingggi, dan semuanya melakukan adjustment," ujarnya ketika ditemui di Gedung Ali Wardhana Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (9/5/2018).
Suahasil menyatakan dirinya masih optimis level inflasi Indonesia masih di bawah 4 persen hingga akhir tahun, yaitu di level 3,5 persen jika dilihat dari potensi ekonomi.
Dirinya menjelaskan ekonomi indonesia pada kuartal I 2018 yang tumbuh 5,06 persen menunjukkan kualitas yang baik, didukung dengan tingginya tingkat investasi hingga 7,9 persen. Meskipun, terjadi ketimpangan antara jumlah impor sebesar 12 persen, sedangkan ekspor hanya 6 persen.
"Tapi kalau dilihat dari komposisi impor, cukup banyak yang berasal dari barang modal. Ini menunjukkan proses ekspansi dunia usaha mulai berlangsung," jelasnya.
Di sisi lain, dirinya mmenambahkan, penerimaan APBN masih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran akibat penyesuaian kurs, seperti subsidi BBM dan pembayaran utang baik cicilan pokok maupun bunga.
"Net antara penerimaan dan pengeluaran efeknya masih tinggi penerimaannya," ujarnya.
Dirinya menjelaskan, dalam melihat dampak dari pelemahan rupiah tidak hanya melalui APBN saja, akan tetapi juga dampaknya terhadap ekonomi makaro lain sperti inflasi, naiknya harga-harga jual di pasar yang yang akan berpengaruh pula terhadap daya beli masyarakat dan kondisi badan-badan usaha di Indonesia.
"Dari sisi pengelolaan APBN ngga ada yang mengkhawatirkan tapi kita masih mengamati. Pergerakan kurs kan bergerak setiap hari," ujarnya.
Naikkan Suku Bunga
Guna mengantisipasi semakin dalamnya rupiah terdepresiasi, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Bank Indonesia (BI) bisa menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate 25 hingga 50 basis poin.
"Kenaikan suku bunga acuan diharapkan bisa menaikkan return instrumen investasi di Indonesia sehingga dana asing tidak melanjutkan capital flight," ujarnya.
Selain itu, Indonesia perlu untuk memperbaiki kondisi domestik, karena pelemahan rupiah terhadap dollar AS tidak hanya disebabkan volatilitas global saja, tetapi kondisi fundamental Indonesia sendiri.
"Kita perlu mengembalikan kepercayaan investor, menjaga stabilitas harga baik BBM, listrik, maupun harga pangan jelang Ramadhan. Sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56 persen terhadap PDB bisa pulih," ujarnya seperti dikutip kompas.com.
Bhima menambahkan pelemahan rupiah menyebabkan terjadinya pembengkakan kewajiban membayar utang luar negeri Indonesia hingga Rp 5,5 triliun.
"Selisih pembengkakan ini akibat currency missmatch, jika gunakan kurs Rp 13.400 sesuai APBN, maka pemerintah wajib membayar Rp 121,9 triliun," ujarnya.
"Sementara dengan kurs sekarang di kisaran 14.000, beban pembayaran menjadi Rp 127,4 triliun," lanjutnya. Dia mengatakan, munculnya pembengkakan ini akan mempersempit ruang fiskal perekonomian Indonesia, meski masih tetap bisa membayar utang jatuh tempo.(pic)
Sementara itu di pasar spot, rupiah diperdagangkan di Rp 14.052 per dollar AS dibanding Senin (7/5/2018) Rp 14.001.
Pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini diperkirakan terus berlanjut hingga akhir Mei.
"Terbuka peluang kurs terdepresiasi hingga Rp 14.200," ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara masih memandang optimis masa depan perekonomian Indonesia. Dia menilai melemahnya rupiah tidak akan menghilangkan kepercayaan diri investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
"Menurut saya nggak (membuat investor tak percaya pada kondisi Indonesia). Memang volatilitas dunia sedang tingggi, dan semuanya melakukan adjustment," ujarnya ketika ditemui di Gedung Ali Wardhana Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (9/5/2018).
Suahasil menyatakan dirinya masih optimis level inflasi Indonesia masih di bawah 4 persen hingga akhir tahun, yaitu di level 3,5 persen jika dilihat dari potensi ekonomi.
Dirinya menjelaskan ekonomi indonesia pada kuartal I 2018 yang tumbuh 5,06 persen menunjukkan kualitas yang baik, didukung dengan tingginya tingkat investasi hingga 7,9 persen. Meskipun, terjadi ketimpangan antara jumlah impor sebesar 12 persen, sedangkan ekspor hanya 6 persen.
"Tapi kalau dilihat dari komposisi impor, cukup banyak yang berasal dari barang modal. Ini menunjukkan proses ekspansi dunia usaha mulai berlangsung," jelasnya.
Di sisi lain, dirinya mmenambahkan, penerimaan APBN masih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran akibat penyesuaian kurs, seperti subsidi BBM dan pembayaran utang baik cicilan pokok maupun bunga.
"Net antara penerimaan dan pengeluaran efeknya masih tinggi penerimaannya," ujarnya.
Dirinya menjelaskan, dalam melihat dampak dari pelemahan rupiah tidak hanya melalui APBN saja, akan tetapi juga dampaknya terhadap ekonomi makaro lain sperti inflasi, naiknya harga-harga jual di pasar yang yang akan berpengaruh pula terhadap daya beli masyarakat dan kondisi badan-badan usaha di Indonesia.
"Dari sisi pengelolaan APBN ngga ada yang mengkhawatirkan tapi kita masih mengamati. Pergerakan kurs kan bergerak setiap hari," ujarnya.
Naikkan Suku Bunga
Guna mengantisipasi semakin dalamnya rupiah terdepresiasi, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Bank Indonesia (BI) bisa menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate 25 hingga 50 basis poin.
"Kenaikan suku bunga acuan diharapkan bisa menaikkan return instrumen investasi di Indonesia sehingga dana asing tidak melanjutkan capital flight," ujarnya.
Selain itu, Indonesia perlu untuk memperbaiki kondisi domestik, karena pelemahan rupiah terhadap dollar AS tidak hanya disebabkan volatilitas global saja, tetapi kondisi fundamental Indonesia sendiri.
"Kita perlu mengembalikan kepercayaan investor, menjaga stabilitas harga baik BBM, listrik, maupun harga pangan jelang Ramadhan. Sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56 persen terhadap PDB bisa pulih," ujarnya seperti dikutip kompas.com.
Bhima menambahkan pelemahan rupiah menyebabkan terjadinya pembengkakan kewajiban membayar utang luar negeri Indonesia hingga Rp 5,5 triliun.
"Selisih pembengkakan ini akibat currency missmatch, jika gunakan kurs Rp 13.400 sesuai APBN, maka pemerintah wajib membayar Rp 121,9 triliun," ujarnya.
"Sementara dengan kurs sekarang di kisaran 14.000, beban pembayaran menjadi Rp 127,4 triliun," lanjutnya. Dia mengatakan, munculnya pembengkakan ini akan mempersempit ruang fiskal perekonomian Indonesia, meski masih tetap bisa membayar utang jatuh tempo.(pic)