Hal ini mengkhawatirkan negera Eropa dan Amerika. Mereka kemudian memberlakukan aturan ketat terhadap ekspor CPO dari Indonesia dan Malaysia. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan kampanye hitam agar orang takut mengkonsumsi minyak sawit.
Untuk segenap pihak perlu memberikan dukungan agar keberadaa kelapa sawit mampu mewujudkan sumber engeri baru. Dan di sisi lain juga meningkatkan kesejahteraan petani.
Setidaknya demikian poin penting yang mengemuka dalam Seminar Peningkatan Kompetensi Wartawan dan Humas Pemerintah tentang Industri Kelapa Sawit dengan tema 'Pengembangan Industri Kelapa Sawit Menuju Kemandirian Energi. Seminat setengah hari yang diprakarsai PWI Sumbar dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumbar berlangsung Rabu (14/8) di Padang.
"Kampanye hitam itu harus dilawan. Salah satu caranya adalah dengan terus mensosialisasikan pada masyarakat luas bahwa minyak sawit itu sangat baik dibandingkan minyak nabati lainnya," ujar Tofan Mahdi, Juru Bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Salah satu dampak dari kampanye hitam itu, berfluktuasinya harga sawit. Harga terus meorosot. Harga tandan buah segara (TBS) sawit ditingkat petani bahkan kini mencapai Rp800 perkg. Menurut Catatan GAPKI pada April 2019, ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan sebanyak 18% dibandingkan total ekspor pada Maret lalu.
Padahal, potensi dan masa depan kelapa sawit ini dinilai sangat prospek. Terutama setelah minyak sawit diketahui mampu menjadi enegeri alternatif menggantikan bahan bakar fosil untuk kebutuhan industri dan transportasi.
“Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan dengan memproduksi dan mengolah produk turunan kelapa sawit sebagai biodisel untuk menggantikan fosil di tengah gonjang ganjingnya harga sawit akibat regulasi ekspor di beberapa negara tujuan dalam beberapa bulan terakhir," sebut Chandra, Kepala Dinas Tanaman Pangan Pangan, Hortikultura dan Perkebunan.
Dewasa ini, Sumatera Barat memiliki sekitar 500.000 hektar perkebunan sawit yang mayoritas dimiliki oleh perusahaan swasta (PBSN) sebesar 267.430,80 hektar, kebun rakyat sebesar 220.193 hektar dan sisanya dimiliki oleh pemerintah (PTPN) sebesar 7.103,16 hektar. Tersebar di enam kabupaten yang ada Sumatera Barat.
Kelapa sawit dengan produksi turunan berada dalam puncaknya pada tahun 2017. Pada tahun itu mampu menyumbang sekitar 12% PDB Nasional atau dengan total nilai eksport Rp310 triliun. Namun, pada periode 2018 hingga 2019 cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh black campign dari Uni-Eropa melalui beberapa platform secara massif sehingga menimbulkan sentiment negatif terhadap sawit. Selain itu, Indonesia melalui Kementerian Perdagangan harus mampu berdiplomasi dalam menghadapi persaingan dagang dengan negara lain.
Namun sentiment negatif pemberitaan media terhadap kelapa sudah cenderung menurut sejak 2018, menurut data dari Warta Ekonomi. Hal tersebut harus terus diupayakan agar kelapa sawit Indonesia menjadi stabil dan melanjutkan kelapa sawit Indonesia sebagai komoditas utama penghasil PDB Indonesia.
Ketua Divisi unit Penyaluran Badan Pengelola Perkebunan Dana Kelapa Sawit (BPDPKS), Fajar Wahyudi menjelaskan bahwa BPDPKS dalam hal ini adalah lembaga yang pemerintahan yang mengelola dana dari perusahaan sawit untuk di alokasikan kedalam 6 fokus utama pengembangan, yaitu pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan, promosi, peremajaan, sarana dan prasarana, termasuk dalam rangka penyediaan dan pemanfaatan biodiesel guna mewujudkan kemandirian energi.(afr)