Notification

×

Iklan

Iklan

Siaga Satu Lingkungan Hidup Indonesia dan Solusi Green Economy

Minggu, 27 Juni 2021 | 6/27/2021 WIB Last Updated 2024-09-08T13:39:23Z


padanginfo.com - JAKARTA - Pandemi telah merubah banyak hal. Pandemi mengubah secara radikal dan menjungkirbalikkan apa yang selama ini dianggap suatu kenormalan, dan mungkin ke depan kondisi menjadi normal baru. Dari sudut ekonomi, di masa pandemi ini telah diperkirakan digital ekonomi yang bisa dikembangkan untuk menggantikan ekonomi sekarang ini.

“Ketika lingkungan porak poranda dan ekonomi tidak mampu merubah dari sistem ekonomi yang eksploitatif terhadap Sumber Daya Alam (SDA), tidak sustain dan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, juga menafikan efek eksternalitas negatif dari sistem ekonomi, maka sekaranglah saatnya untuk berubah memperhatikan lingkungan hidup. Pandemi yang telah menjadi problem besar mau tidak mau harus dikaitkan menuju green economy,” jelas Prof. Dr. Didik J. Rachbini pada webinar Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Paramadina (26/6-2021).  

Webinar ini bertajuk  “Siaga Satu Lingkungan Hidup Indonesia: Solusi Green Economy”.  Hadir sebagai narasumber Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Poppy Ismalina, M.Ec. Dev, Ph.D, Associate Professor Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Dr. Handi Risza (Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina. Acara ini dimoderatori Brigita Manohara; Mahasiswa Paramadina Graduate School of Business (PGSB).

Menurut Rektor Universitas Paramadina, ekonomi digital jauh lebih ramah lingkungan. Tatanan baru biasanya muncul ketika ada krisis. Pada saat inilah green economy bisa muncul sebagai sebuah format baru. “Itu bisa dilakukan dengan tidak lagi menggunakan material produksi yang dapat merusak lingkungan semisal kertas, yang harus menuju paperless dengan dukungan ekonomi digital. Begitupula pengelolaan lingkungan yang dapat dicapai dengan collective action atau sinergi pelaku usaha, pemerintah dan stakeholder lain,” sebutnya.

Poppy Ismalina, Ph.D mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang sangat rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim harus secara konsisten mengacu pada program membangun Indonesia hijau. “Agenda perubahan iklim harus ditetapkan yakni perlindungan lingkungan hidup dan pengurangan emisi karbon. Pilihan strategi untuk menuju ke agenda penyelamatan lingkungan hidup dan emisi karbon terletak pada pilihan strategi dan kebijakan ke depan dengan menggunakan sektor riil dan sektor jasa keuangan.”

Poppy yang merupakan Associate Professor Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada juga mengatakan bahwa konsep pemulihan green economy recovery, harus dilakukan dengan konsisten beserta implementasi yang sustain. Semua ditujuan agar lingkungan hidup tetap terjaga, dan tidak hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata, tetapi bagaimana dapat meningkatkan keadilan sosial dan peningkatan kualitas hidup. “Sayangnya, dari aspek budget allocation, program mitigasi lingkungan dan adapatasi masih dianggarkan dengan sangat kecil pada APBN 2021-2022,“ katanya.

Selanjutnya Dr. Handi Risza, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina menyatakan bahwa kerusakan lingkungan akibat eksploitasi kekayaan tambang Indonesia dilakukan tanpa pernah memikirkan aspek perbaikan lingkungan. “Ini menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia tidak bisa melepaskan diri atau tergantung dari hasil komoditas sumberdaya alam (SDA). Akibat perekonomian yang terlalu bergantung pada komoditas, maka tidak pernah bisa leading menuju industrialisasi pengolahan yang berbasis pada nilai tambah produk SDA.”

Handi juga menyatakan bahwa dikarenakan tidak terlalu aware dengan keberadaan lingkungan, maka akibatnya terjadi kerusakan hutan primer dengan alih fungsi lahan yang meluas. “Terjadi environmental degradation akibat pembangunan yang hanya mengandalkan sektor komoditas SDA. Hingga akhirnya Indonesia kini memiliki 10 masalah besar lingkungan dengan problema sampah nasional 67,8 juta ton sampah, yang merupakan masalah terbesar (40%), dan bencana banjir di urutan kedua (20%).” tuturnya.

“Untuk mengatasi masalah tersebut, menjadi tugas pemerintah sebagai otoritas yang memiliki kebijakan, modal anggaran, infrastruktur dan birokrasi pemerintahan yang lengkap kiranya sudah harus mulai menata pembangunan yang pro lingkungan dan sustainable. Hal tersebut tentunya harus didukung oleh porsi anggaran pemeliharaan yang pro lingkungan,” ujar Handi.

Handi juga menuturkan bahwa anggaran lingkungan hidup justru tidak tercantum dalam APBN 2021, padahal dalam APBN 2015-2020 dicantumkan. “Secara persentase memang meningkat, tetapi secara nominal angkanya justru terlalu kecil. APBN 2019 mencapai Rp2400 triliun atau rata-rata Rp1500 triliun, tetapi anggaran fungsi lingkungan hidup tercatat hanya Rp 14 triliun. Dari angka-angka itu dapat dilihat bagaimana komitmen pemerintah dalam hal kebijakan lingkungan yang masih jauh dari harapan,” jelasnya.(*/afr)

×
Berita Terbaru Update