Notification

×

Iklan

Iklan



Prof. Abdul Hadi WM: Politik Nasional Harus Menolak Campur Tangan Asing

Rabu, 15 Desember 2021 | 12/15/2021 WIB Last Updated 2024-09-08T10:32:03Z

Abdul Hadi WM (Ceknnricek.com)

padanginfo.com
- JAKARTA- Penyair  Abdul Hadi WM menegaskan  kepribadian nasional memiliki 3 pilar yakni, politik nasional menolak campur tangan asing; ekonomi menolak eksploitasi asing terhadap SDA dan SDM nasional; dan bidang kebudayaan harus berkepribadian unggul dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Hal ini disampaikannya pada acara bertajuk “Diskusi Akhir Tahun: Bidang Pendidikan dan Kebudayaan” dalam Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini melalui platform Twitter Space, Selasa Malam, 15/12/2021.

Guru Besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina ini juga menyatakan bahwa Pendidikan nasional bisa bergairah kembali jika pendidikan Bahasa kembali diperhatikan. 

“Bahasa hanya dipakai sebagai sarana komunikasi tetapi tidak digunakan untuk berpikir. Padahal semakin canggih berbahasa maka akan semakin mendukung kecerdasan. Bahasa Jerman telah lama menjadi pedoman Bahasa risalah-risalah ilmiah, sastra dan filosofis bernilai amat tinggi.” Katanya. 

Menurut Abdul Hadi karena terlalu lama dijajah kolonialisme, kepribadian manusia Indonesia menjadi hancur. “Sebelum abad 20 di Jawa digunakan Bahasa Jawa dan Melayu Arab, namun Belanda menghapus itu semua dan menggunakan Bahasa Latin, sehingga putus dari akar budaya.” Ujarnya.

Sebagai perbandingan lanjutnya, kepribadian bangsa yang tetap dipertahankan dipraktikkan oleh bangsa-bangsa penganut konfusianisme Jepang, Korea, China, dimana konfusianisme diajarkan sejak dari SD. Begitu pula dengan etos dan seni budaya yang merupakan aspek penting dalam menanggapi aneka corak kehidupan. 

Abdul Hadi juga menyoroti terjadinya krisis moral parah dan rendahan, dengan terjadinya berbagai peristiwa korupsi dan manipulasi yang menghancurkan kehidupan sosial politik nasional. 

“Dibutuhkan kembali kebangkitan akan nilai moral yang berstandar tinggi untuk membenahi iklim kehidupan di berbagai sektor.” Katanya.

Abdul Hadi juga menyinggung perlunya diperkuat dan dipahami ihwal kearifan lokal. Menurutnya kearifan lokal tertera pada kitab-kitab keagamaan, filsafat, sastra yang sudah jarang dipelajari. 

“Tak heran, generasi muda Jawa tak lagi kenal Ronggowarsito, Mahabarata, begitu juga anak suku lain, kecuali Bali meski hidup dalam lakon tetapi kurang mengenal. Ada juga banyak arsitektur-arsitektur lokal. Karya-karya sastra lama perlu diperkenalkan kembali seperti Tajussalatin, Bustanussalatin, Sastra Jawa, Sunda dan lainnya.” Katanya.  

 Ia juga mengkritik fenomena bahwa kebudayaan dan karya-karya sastra unggul lama tak juga dipelajari, sedangkan pelajaran dari Barat juga tidak tuntas dikuasai. 

“Meski anak-anak kita banyak yang menjuarai lomba internasional matematika dan science, tetapi tidak ada yang kemudian menjadi ilmuwan kelas dunia hingga meraih penghargaan Nobel. Sementara tetangga Asia lain Pakistan punya M. Yunus dan Mahbub Ul Haq sebagai para peraih hadiah Nobel.” Katanya 

 Dr. M. Abduhzen, Peneliti Paramadina Institute of Education Reforms mengatakan bahwa terdapat kekeliruan cara memandang proses pendidikan karakter di sekolah. 

“Proses pendidikan karakter memang betul untuk membentuk seutuhnya karakter agar menjadi manusia berbudaya. Namun sesungguhnya proses pendidikan yang benar adalah include di dalamnya pembentukan karakter. Tidak dipisah antara pendidikan seni budaya dan pendidikan karakter.” Katanya.

Abduhzen mengungkapkan bahwa selama ini umum menganggap pendidikan karakter hanya berisi pelajaran agama, budi pekerti, PPKN, tapi lupa bahwa karakter sangat dipengaruhi oleh pelajaran matematika, dan ilmu-ilmu scientific seperi biologi, fisika, kimia. 

“Basis pembentukan karakter adalah ketika orang mampu berpikir logis dan rasional karena terbiasa berpikir oleh ilmu-ilmu scientist. Karena itulah dulu ada peribahasa bijak ‘Pikir itu pelita hati, air beriak tanda tak dalam’.” Katanya.

Tidak heran lanjut Abduhzen, dalam rangking PISA anak-anak didik di Indonesia tidak mampu beranjak dari posisi 6 terbawah dunia. “Karena memang tidak dibiasakan berpikir (ilmiah), karenanya mereka punya kemampuan science yang lemah. Ketika diberikan soal-soal science maka kemampuan berpikir atau bernalar jeblok karena tidak terlatih berpikir. “ tuturnya. 

Dirunut dari masa lalu, pengaruh sistem pendidikan era kolonial sedikit banyak berpengaruh. Pribumi tidak dipacu menjadi cerdas karena proses berpikir, tetapi hanya untuk lebih patuh dan setia pada nilai-nilai inlandernya. 

“Dan nilai inlander itu yang terus berkembang hingga hari ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang tidak punya kepribadian kuat dan malas berpikir.” Lanjutnya. 

Abduhzen juga menyampaikan evaluasinya atas problem pendidikan nasional, Yang pertama menurutnya, “Problem pendidikan nasional telah melampaui kapasitas departemental atau diserahkan hanya pada level kementerian, tetapi harus ditangani terpadu sampai pada tingkat negara dan dipimpin langsung oleh kepala negara.” 

“Kedua, siswa didik kita harus dibiasakan mau berpikir dengan proses menggunakan nalar. Kemampuan bernalar sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang berkarakter unggul. Ketiga, proses belajar mengajar harus menggunakan proses dialogis dengan penggunaan bahasa yang benar, sebagai media pencerdasan. Karena itu membenahi bahasa berarti sedang membenahi cara berpikir.” Katanya. 

Dr. Fatchiah E. Kertamuda, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina menyatakan bahwa pendidikan merupakan investasi bernilai strategis dan merupakan penanaman modal sumber daya manusia nasional. 

“Perjalanan pendidikan kita masih terus mencari pola dan tak tahu sampai kapan ujungnya. Terlebih dengan munculnya pandemi covid-19 yang membuat para tenaga pengajar harus menyesuaikan sistem pengajaran yang tidak mudah.” Ujarnya. 

Setiap kebudayaan lanjut Fatchiah, memiliki local wisdom yang bisa dikembangkan menjadi sistem perilaku. 

“Bagaimana setiap orang bisa tumbuh pertama dari lingkungan keluarga yang kondusif. Namun merubah semuanya tentu tidak mudah dan butuh waktu. akhlak mulia tidak mungkin bisa dibentuk dalam satu dua hari. Tetapi butuh proses panjang.” pungkasnya.(rel/ak)



×
Berita Terbaru Update