Notification

×

Iklan

Iklan



3 Penyair ASEAN Bahas Perkembangan Puisi Asia Tenggara di Payakumbuh Poetry Festival 2023nry

Jumat, 06 Oktober 2023 | 10/06/2023 WIB Last Updated 2024-09-10T02:22:04Z



 

  

 Tiga penyair dari Singapura, Thailand dan Filipina membahas perkembanganya puisi Asia Tenggara di Payakumbuh Poetry Festival 2023, Jumat



padanginfo.com-PAYAKUMBUH- Dua diskusi Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2023, bertempa di Agamjua Art and Culture Caffe, Jumat 6 Oktober 2023, berlangsung apik. Berbagai hal terkait perkembangan puisi di Asia Tenggara dan Indonesia dibicarakan, terutama menyangkut  penggunaan medium-medium baru dalam menyampaikan puisi.

 

Diskusi pertama bertajuk “Puisi Berpilin Tiga”. Tiga narasumber dari Thailand, Filipina, dan Singapura, membahas bagaimana perkembangan medium puisi di negara masing-masing. Bagaimana puisi tidak lagi sebatas menggunakan kata-kata sebagai medium. Juga dibicarakan bagaimana perkembangan itu berkaitan dengan isu-isu sosial politik dalam diskusi yang dimoderatory Donny Eros.

 

Rossanee Nurfarida dari Thailand, mengatakan saat ini ada kecendrungan untuk menuangkan puisi ke medium audio-visual. Untuk menjangkau auidens yang lebih luas, kata Rossanee, puisi bisa dipentaskan, dipertontonkan, misalnya lewat film pendek. Rossanee sendiri telah membuat film pendek dari satu puisinya ‘Lost in Homeland’—film dengan pendekatan Puisi Visual.

 

Di Singapura, kata Ng Yi-Sheng, saat ini tengah menguat gerakan Slam Poetry yang terinspirasi dari gerakan yang sama di Amerika. Cukup banyak ajang iven Slam Poetry di sana, terutama di ruang-ruang publik. Slam Poetry sendiri bisa dikatakan sebagai seni pertunjukan puisi yang lebih bebas. Bisa dimainkan di mana saja tanpa properti.

 

Jika di Thailand dan Singapura terdapat kecendrungan puisi ‘dituangkan’ dalam film dan pertunjukan, di Filipina beda lagi. Anne Tulay dari Filipina melihat kecendrungan untuk ‘menuangkan’ puisi ke medium seni rupa. Ia sendiri tengah intens menciptakan karya-karya Puisi Visual dalam bentuk lukisan dan telah mengikuti pameran Puisi Visual di negaranya.

 

Terlepas dari perbedaan medium seni dari ketiga negara tersebut, ada satu hal yang menghubungkan ketiganya ialah bagaimana medium tersebut diisi dengan isu sosial politik.

 

Puisi Visual di Thailand karya Rossanee misalnya, bicara soal ketersingkiran dan solidaritas terhadap kaum minoritas. Pertunjukan-pertunjukan Slam Poetry di Singapura, menyuarakan perjuangan hidup sehari-hari warga, yang meski terlihat makmur dari luar, masih menyimpan sejumlah masalah, seperti persoalan privasi.

 

Begitu juga dengan karya-karya Puisi Visual di Filipinan. Anne misalnya, meski tidak secara implisit bicara soal kesenjangan sosial dalam karya-karya lukisannya, ia juga menekankan ketimpangan sosial yang dialaminya sebagai latar penting dalam pembentukan karya-karyanya.

 

Diskusi selanjutnya bertajuk “Puisi Tumbuh Bentuk Berganti”. Diskusi ini menghadirkan pianis dan komponis Ananda Sukarlan serta filmmaker dan penulis skenario Salman Aristo sebagai narasumber.

 

Dalam diskusi yang dimoderatori Sudarmoko itu kedua narasumber membicarakan bagaimana mereka menciptakan karya masing-masing dengan ‘memanfaatkan’ puisi.

Secara khusus, Ananda Sukarlan memaparkan mengenai apa yang disebutnya ‘musik sastra.’

 

Ia mengatakan saat ini cukup intens menciptakan musik yang diangkatnya dari puisi. Berbeda dengan musikalisasi puisi, musik sastra berupaya menangkap esensi dari satu (atau dua puisi sekaligus) dan ia terjemahkan dalam notasi.

 

Ananda menggarisbawahi bahwa musik sastra bisa mengatasi keterbatasan bahasa dalam puisi. Jika musik sastra berhasil menangkap esensi sebuah puisi dalam bahasa tertentu, maka siapa saja bisa menikmati  dan memahami esensi puisi tersebut karena sifat musik yang lebih universal.

 

Sementara Salman Aristo berbagi pengalaman soal proses kreatifnya. Bagaimana ia terbantu oleh puisi ketika menciptakan film. Menurutnya ia belajar memadatkan kata dan dialog dalam filmnya dari puisi. Termasuk juga dalam merancang scene serta menghadirkan simbol-simbol yang padat sekaligus dalam dalam film-filmnya.

 

Dua diskusi tersebut merupakan upaya PPF 2023 untuk mengakomodir mengakomodir perkembangan penulisan sastra hari ini, sekaligus kerja kreatif yang dilakukan seniman lintas disiplin dalam melakukan transformasi dari sastra ke medium seni lain.

 

“Sebagaimana tema yang kita pilih untuk tahun ini, Puisi Tumbuh, Bentuk Berganti,” kata Iyut Fitra di sela-sela diskusi.

 

Dua diskusi tersebut juga mengakhiri serial diskusi PPF 2023. Sebelumnya juga digelar beberapa diskusi. Mulai dari diskusi karya-karya pemenang Sayembara Puisi: Distopia, dan diskusi dua Buku  Puisi Pilihan PPF 2023, yaitu buku puisi Malala karya Indira Intisa dan buku puisi Bertemu Belalang karya Gody Usnaat. (*/ak)



×
Berita Terbaru Update