Jurnalis padanginfo.com
Dingin menusuk tulang, ketika rombongan kecil keluarga yang saya dampingi sampai di Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, Selasa malam 9 Juli 2024.
Kami baru keluar dari simpang jalan Koto Tuo- Padanglua. Angin dari puncak Gunuang Marapi dan puncak Gunung Singgalang seperti jatuh di lembah Talago Koto Baru. Hembusan angin menyibak kedinginan malam. Suhu menunjukkan angka 20 derajat Celcius di layar android.
Semula, lepas dari ruas jalan Malalak-Koto Tuo-Padsnglua, , kami mau belok kiri menuju penginapan di Bukittinggi. Maklum, perjalanan 6 jam dari Padang yang diselingi macet membuat lelah badandan lelah pikiran.
Tapi satu orang anggota rombongan, taragak dengan kue bika Talago Koto Baru, keinginannya dipenuhi. Dia dari Belanda, pulang libur semester. Sudah 13 tahun tak melihat kampung neneknya di Sungaipua.
Kue bika adalah penganan khas dari Koto Baru. Bentuknya bulat seperti kue penukut. Penganan ini terbuat dari adonan tepung beras dicampur kelapa. Lalu dibakar dengan kayu api dalam periuk tanah. Pembakarannya atas bawah.
Bika yang terkenal mereknya Bika Si Mariana. Sampai dibuatkan lagu oleh seniman musik Syamsir Hasan (alm) di tahun 1980an. Lamaknyo bika si Mariana. Indak dibali takana-kana. Artinya, enaknya (rasa) bika si Mariana, tak dibeli teringat terus.
Mobil terus mela di tengah kegelapan malam. Warung-warung yang biasanya buka sampai pagi sudah pada tutup. Termasuk warung bika. Maklum, tak ada lagi cuan yang diharap dari persinggahan banyak orang berkenderaan, sejak putusnya ruas jalan di Lembah Anai.
"Nah itu ada satu. Coba saja lihat. Mungkin masih ada kue bikanya.." kata saya saat melihat satu warung dengan tungku api bika yang masih menyala.
"Alun tutuik lai Uwan," sapa saya pada seorang lelaki yang sedang membakar kue bika dalam periuk tanah.
"Alun... Ko mahabiskan adonan," jawabnya.
Lelaki yang saya panggil Uwan itu bernama Mai Indra (57 tahun). Uwan adalah sapaan akrab pada kaum lelaki dewasa di sana. Merek warungnya Bika Koto Baru. Bersama isterinya Erna, Mai mengatakan sudah 15 tahun berjualan kue bika.
Jual beli selama 15 tahun cukup lumayan. Bisa menyekolahkan tujuh orang anak Tapi sejak putusnya jalan di Lembah Anai, pendapatan anjlok. Sampai 80 persen.
"Tidak saja saya, tapi juga pemilik tungku bika yang lain " urai Mai Indra.
Di kawasan Talago Dewi Koto Baru, ada 6 tungku kue bika. Semua bernasib sama. Jual beli anjlok.
Mai Indra menyebutkan, waktu normal bisa menghabiskan 50 butir kelapa. Satu butir kelapa menghasilkan 10 buah kue bika. Harga satu kue bika tiga ribu rupiah, dengan aneka varian rasa. Ada rasa kelapa, rasa gula aren, rasa duren dan varian rasa lainnya.
Bayangkan, lanjut Mai, satu hari hanya menghabiskan 5 butir kelapa.
"Itupun kue bikanya tak segera habis.." ujar isterinya.
Sejak putusnya jalan Lembah Anai tak hanya penjyal bika yang terdampak. Penjual punyaram di Kayutanam, sejumlah rumah makan di kawasan Air Terjun pada tutup. Tak ada yang liwat, karena perbaikan jalan putus sepanjang 2,1 km menutup seluruh arus kenderaan yang akan liwat.
Baik Mai maupun pedagang bika lainnya di kawasan danau kecil Talago Koto Baru berharap ruas jalan Lembah Anai cepat selesai. Sehingga rombongan wisata bus besar atau keluarga kecil bisa singgah belanja Bika dan makanan khas lainnya.
"Sudah tiga bulan kami merana. Taereang. Tujuh kepala yang harus makan tiap hari "kata Mai Indra yang bergelar adat Datuak Panduko.
Sisa adonan yang dibakar Mai dan isteri di tungku bika kami borong. Lebih kurang 20 buah.
Malam kian larut, puncak Gunung Marapi tak lagi erupsi. Yang terlihat hanya kerdip cahaya lampu dari kejauhan di pinggang bukit, perkampungan warga.