Notification

×

Iklan

Iklan



Sumatera Barat Bukan Kembaran Riau dan Jambi

Rabu, 02 Oktober 2024 | 10/02/2024 WIB Last Updated 2024-10-02T04:32:38Z

Catatan  Syarifuddin Arifin
Penulis Sastrawan tinggal di Padang

padanginfo.com-PADANG-Penetapan Hari Jadi Propinsi Sumatera Barat, menurut Perda Sumbar no 4 tahun 2019, jatuh pada tanggal 1 Oktober 1945. Itu artinya Republik Indonesia lebih tua 2,5 bulan saja. Sedangkan Hari Jadi Kota Padang, yang telah diperingati setiap 7 Agustus itu dipacak sejak tahun 1669, 351 tahun lalu.

Membaca penjelasan Perda no. 4 thn 2019, ditetapkannya 1 0ktober sebagai Hari Jadi Propinsi Sumatera Barat atas penjajakan tapak sejarah setelah kemerdekaan NKRI, 17 Agustus 1945. Sementara Hari Jadi Kota Padang, ditetapkan jauh sebelum adanya Indonesia yang ditandai atas kemarahan rakyat semesta di bagian timur kota ini, yang menyerang dan membakar loji VOC pada 7 Agustus 1669.

Jelas, lahirnya Perda no. 4 thn 2019 tentang Hari Jadi Propinsi Sumatera Barat lebih menekankan pada pembatasan wilayah administrasi menurut sistem  pemerintahan yang berlaku setelah kemerdekaan NKRI, sedangkan Hari Jadi Kota Padang lebih menekankan peristiwa heroik merebut kembali wilayah VOC yang menyebabkan terpecahnya pemuka adat (di Padang ada Reagen/Demang).

Tanggal 1 Oktober 1945, pemuka masyarakat Sumbar, di antaranya Dr. M Djamil, Rasuna Said, Moh. Sjafei, dll mengadakan pertemuan untuk merebut wilayah Sumatora Nishi Kaigun Shu, semacam Keresidenan bentukan Jepang pada 1942, yang masih di bawah penguasaan Jepang. Jepang bersikukuh untuk tetap bertahan, meski pun Indonesia sudah diproklamirkan dua bulan sebelumnya. Bersama KIND-SB, akhirnya keresidenan ini berhasil direbut dan Engku Moh. Sjafei dilantik sebagai Residen Sumatera Barat pertama.

Padamulanya, Indonesia terdiri dari 8 Propinsi, satu di antaranya Propinsi Sumatera. Dalam perkembangannya, Propinsi Sumatera dibagi tiga, yakni; Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Wilayah Sumbar ketika itu termasuk daerah Riau dan Jambi.
Lalu, berdasarkan Undang-undang Darurat no. 19 thn 1957 dibentuklah Daerah Swatantra tingkat l Sumbar, Jambi dan Riau. Nama Sumatera Barat kembali dihidupkan, meski pun wilayah administrasinya semakin kecil. Tidak hanya keterpisahan Riau dan Jambi, bahkan Barus dan Singkil  masuk wilayah utara.
Lalu, berdasarkan UUno. 61 thn 1958, Daerah Swatantra Tingkat I disebut sebagai Propinsi Tkt l. Artinya, sebagai sebuah propinsi, umur Sumbar, Riau dan Jambi "dilahirkan" bersamaan. Kembar 3, berkat UU 61/ 1958 tersebut.
Akan tetapi, Perda Sumbar no. 4 thn 2019 lebih menekankannya atas perjuangan merebut Sumatora Nishi Kaigun Shu dari tangan Nippon dan mengembalikannya ke Keresidenan Sumatera Barat yg wilayahnya dari Singkil/Barus sampai ke Pulau Cingkuak/Painan.
                  **

Terlepas dari itu semua, ternyata tanggal 1 0ktober merupakan tanggal yang sangat berarti bagi rakyat/warga Sumatera Barat. Bukan karena kebetulan, Presiden Soeharto kemudian menetapkan 1 0ktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila, karena berhasilnya TNI memberangus gerakan G30S/PKI. Kesaktian Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi/pandangan hidup bangsa Indonesia terbukti tidak tergoyahkan oleh kekuatan apa pun.

Kesaktian 1 0ktober yang dirasakan oleh segenap Bangsa Indonesia pada 1965 itu, ternyata telah dirasakan oleh segenap pejuang kita dalam mempertahankan kemerdekaan.
Berdasarkan fakta sejarah di atas, perjuangan yang masih bersifat kedaerahan di masa itu, meski pun Indonesia dengan wilayah yang cukup luas itu telah memproklamirkan kemerdekaannya,  namun pihak Nippon masih bersikukuh ingin menguasai Sumatora Nishi Kaigun Shu. Jepang masih bersikukuh mempertahankan keresidenan di Propinsi Sumatera ini. Berkat tuah sakato, kesepakatan pada satu visi, satu kata yang cukup berarti pada sidang bersama KIND-SB bersama pejuang-pejuang diplomatis urang awak itulah akhirnya pemakaian/sebutan nama Keresidenan Sumatera Barat terpakai lagi di bawah kepemimpinan Engku Moh. Sjafei sebagai Residen pertama.
                      **

Berkat kesepakatan yang kemudian diviralkan dengan sebutan tuah sakato, bahkan dijadikan sebagai konsep hidup, pola bertindak yang mengacu pada kerapatan. Bila hasil kesepakatan sudah satu kata, maka tuahnya tidak boleh dipaksakan lagi, hingga melenceng ke arah lain. Tuah Sakato pun disepakati jadi lambang/simbol Propinsi Sumatera Barat.
Sebagai sebuah propinsi,  Sumatera Barat sudah memiliki pataka tersendiri yang diambil dari warna marawa Minangkabau yakni; hitam, merah dan kuning yang dijahit memanjang ke bawah. Begitupun mars Tuah Sakato Ciptaan B. Andoeska telah jadi lagu wajib dinyanyikan setiap memulai kegiatan resmi di dalam gedung, sesudah menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman.
Menjelang ketuk palu Perda no. 4/2019 tentang penetapan Hari Jadi Provinsi Sumatera Barat yang mengacu pada berhasilnya beberapa tokoh pergerakan mengembalikannya ke Keresidenan Sumatera Barat, dan mengukuh Engku Mohammad Syafei sebagai residen pertama pada 1 Oktober 1945, yakni 43 hari setelah Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta, maka notasi lagu Tuah Sakato diperbaiki oleh B. Andoeska yang dibantu oleh Ryan De Kincai dan Sexri Budiman, sehingga bisa dinyanyikan pada peringatan Hari Jadi Sumbar, 1 Oktober 2019 yang lalu.

Dengan Perda No. 4 tahun 2019 tersebut, maka dengan sendirinya Sumatera Barat bukan lahir kembar dengan Prov. Riau dan Jambi sebagaimana UU no. 61 tahun 1958 sebagai pemekaran Provinsi Sumatera Tengah. (Syarifuddin Arifin)
                          Padang, 1 0ktober 2024

×
Berita Terbaru Update