Notification

×

Iklan

Iklan

Rezim Prabowo Subianto dan Paradoks Demokrasi

Rabu, 19 Maret 2025 | 3/19/2025 WIB Last Updated 2025-03-19T04:35:39Z



Oleh: Daniel Michael Samosir


Di tengah kekeruhan kondisi negara yang seolah memberi sinyal tegas bahwa ada sesuatu yang salah di Bumi Pertiwi, satu hal tak bisa dipungkiri: Indonesia tengah menghadapi persoalan yang tidak bisa dianggap remeh. Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada tahun 2024, diharapkan dapat menjadi keniscayaan terhadap perubahan negeri ini agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang. 


Seiring berjalannya waktu, realisasi harapan tersebut semakin kabur, berada di persimpangan antara kenyataan dan ilusi, imbas Prabowo Subianto yang tengah gencar melakukan efisiensi anggaran pemerintahan di berbagai sektor kementerian dan lembaga di Indonesia. Pemangkasan anggaran pemerintahan ini diwujudkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 oleh Presiden terpilih, Bapak Prabowo Subianto. 


Meski klaim "efisiensi anggaran" digaungkan sebagai langkah pemerintah dalam merasionalisasi kebijakan fiskal agar anggaran yang diberikan dapat lebih efisien dan bermanfaat bagi masyarakat, nyatanya Inpres No. 1 Tahun 2025 menimbulkan banyak sekali problematika terkait frasa "efisiensi" dari pemangkasan anggaran itu sendiri.


Banyak problematika yang perlu dikritisi. Pertama, frasa "efisiensi" dalam pemangkasan anggaran ini tidak dijelaskan secara rinci bagaimana indikator keberhasilannya diukur. Apakah efisiensi hanya dilihat dari seberapa besar nominal uang yang dapat dihemat negara, ataukah juga mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat pemotongan anggaran tersebut. Hal seperti ini tidak pernah terjawab sejak awal kebijakan Inpres ini muncul.


 Lebih lanjut, nyatanya Inpres yang dikeluarkan tidak sekadar menimbulkan problematika pada masyarakat mengenai eksekusi kebijakan pemangkasan anggaran tersebut—apakah akan benar-benar "efisien" sesuai yang dijanjikan, tetapi juga menimbulkan kontroversi terkait metode dalam proses pembentukannya, karena berpotensi menyalahi prinsip konstitusional. Mengapa demikian? 


Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus diatur dalam bentuk undang-undang yang melibatkan persetujuan DPR. Sementara itu, Inpres No. 1 Tahun 2025 menginstruksikan pemangkasan anggaran yang sangat irasional dan tanpa melalui proses revisi APBN melalui legislatif. 


Tentu dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan: pertama, penguasa sengaja menghalalkan segala cara untuk melegitimasi ambisi sepihaknya, dan yang kedua adalah bahwa Presiden Prabowo Subianto beserta jajarannya tidak memahami regulasi serta bagaimana hukum yang berjalan di Indonesia. Karena jelas, dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara hierarki menempatkan Inpres berada di bawah Undang-Undang, Sehingga final, bahwa Inpres tidak boleh melangkahi Undang-Undang No. 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN), yang mengatur terkait porsi Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. 


Mengutip pernyataan seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, yang mengatakan "Bahwa Instruksi Presiden tidak boleh mengabaikan isi dari undang-undang. Sehingga, ketika pemerintah ingin mengubah patokan mata anggaran, harusnya melalui Undang-Undang APBN Perubahan atau yang umum dikenal sebagai APBN-P."


Kegaduhan di masyarakat sejatinya memperlihatkan dua hal. Pertama, pemerintah entah secara asal-asalan dalam memahami hukum yang ada. Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan kontroversial yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Misalnya, perubahan anggaran secara sepihak melalui instrumen yang prosesnya sudah sangat keliru. 


Padahal, menurut Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan persetujuan DPR sebagai representasi rakyat. Namun, dalam pelaksanaannya, proses ini sering kali diabaikan oleh pemerintah.


Kedua, bahwa nyatanya penguasa telah melakukan suatu tindakan pelanggaran secara terang-benderang terhadap konstitusi, sehingga menjadi kekhawatiran yang masif apabila pemerintah sewaktu-waktu akan bertindak lebih jauh dalam melanggar prinsip-prinsip dalam konstitusi. 


Pun, jika hari ini anggaran bisa diubah secara sepihak melalui instrumen yang dalam prosesnya sangat keliru, maka esok hari kebijakan strategis lainnya, seperti pengaturan hak sipil atau keamanan nasional, pun dapat diputuskan juga melalui instrumen yang sepihak. 


Perlakuan pemerintah saat ini secara tidak langsung mencederai esensi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang berarti semua kebijakan dan tindakan pemerintah harus berdasarkan prinsip keadilan, transparansi, dan kepatuhan pada konstitusi. Fenomena saat ini secara tidak langsung memperlihatkan kepada kita bahwa para pejabat elit negeri ini tidak lagi takut terhadap hukum negara.


Satu hal lagi yang menjadi dasar permasalahan yang cukup krusial adalah pembentukan Inpres yang seyogianya telah menyalahi aturan hukum dalam upaya membentuk payung hukum pemangkasan anggarannya. Permasalahan justru semakin berlanjut dan diperparah secara sepihak dengan sikap pemerintah yang sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan mengenai tujuan pelaksanaan efisiensi anggaran. 


Pemerintah menyatakan bahwa pengurangan anggaran bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan menekan pemborosan. Namun, pernyataan tersebut mengabaikan urgensi dari proses pembagian anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya pada pos-pos kementerian dan lembaga dalam porsi yang telah disusun dengan baik.


Sebagai contoh, pemotongan dana di sektor pendidikan dan kesehatan merupakan dua bidang krusial yang berpotensi memperlebar ketimpangan akses terhadap layanan publik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menyebutkan bahwa 16,47% atau sekitar 27,5 juta penduduk miskin di Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan kesehatan dari pemerintah. 


Sehingga, ketika penghematan anggaran ini dilakukan tanpa proses yang fair dan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, maka sadari bahwa kelompok masyarakat rentan akan menjadi yang paling terdampak dari kebijakan yang dianggap “efisien” ini.


Ironisnya, di tengah pengetatan anggaran untuk penghematan, pemerintah justru menyelenggarakan acara seremonial yang tidak produktif. Pelantikan massal ratusan kepala daerah di satu lokasi oleh Presiden Prabowo nyatanya merupakan bentuk nyata dari pemborosan anggaran yang sebenarnya. Biaya transportasi, akomodasi, dan logistik untuk acara tersebut bisa mencapai miliaran rupiah—dana yang seharusnya dapat dialokasikan untuk program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. 


Inkonsistensi ini semakin mensinyalkan bahwa istilah “efisiensi” hanya menjadi retorika untuk mengalihkan perhatian dan fokus masyarakat dari agenda politik yang jelas tidak pro terhadap rakyat.


Untuk mengatasi permasalahan hukum yang muncul akibat kebijakan ini, ada tiga solusi yang dapat dilakukan agar kebijakan pemerintah tetap berjalan sesuai dengan prinsip konstitusi dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Pertama, Presiden Prabowo Subianto harus mencabut Inpres No. 1 Tahun 2025 secara sukarela, dengan alasan yang sudah jelas bahwa inpres tersebut tidak sah secara hukum. 


Sebab, baik dalam pembentukan APBN maupun perubahan anggaran di dalamnya, Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 mewajibkan bahwa APBN ditetapkan dengan UU, dan jika Presiden ingin melakukan perubahan APBN dengan tujuan efisiensi, maka harus dilakukan melalui revisi UU APBN atau UU APBN-P. Presiden juga dapat melakukan perubahan APBN melalui Perppu jika dalam keadaan mendesak, sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945, karena Perppu memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang. Namun, tetap harus mendapatkan persetujuan dari DPR. 


Kedua, presiden tidak boleh melakukan efisiensi anggaran yang irasional dan harus mempertimbangkan setiap aspek fundamental yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun, seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam merevisi APBN dengan tujuan efisiensi, presiden juga harus didasarkan pada pertimbangan yang matang, seperti analisis dampak mengenai apakah efisiensi yang dilakukan akan membawa kemanfaatan atau justru menyengsarakan rakyat. 


Ketiga, pemerintah harus sangat transparan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan APBN, sesuai dengan Pasal 4 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebab, masyarakat saat ini semakin sulit mempercayai pemerintah dalam mengelola negeri ini. Oleh karena itu, pemerintah harus memperbaiki tata kelola yang lebih transparan dan bertanggung jawab untuk mengembalikan kepercayaan Masyarakat terhadap pemerintah. (Daniel Michael Samosir, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)

×
Berita Terbaru Update